Maaf, Saya (Tidak) Takut Menulis!!





Sejatinya jarak antara tangan dan sumber akal (otak) tidak sampai satu meter. Namun, bukan suatu pengalaman muskil bila ada insan yang sulit merajut aksara untuk tulisan. Seolah kata dan makna terdampar ke rimba nun jauh di sana. Alhasil, kertas dan layar sebagai wadah tulisan tetap putih bersih dari noda teks.
Rasa takut kerap jadi biang keladi ini masalah. Pengalaman itu umumnya diwariskan secara turun-temurun tanpa disadari. Sama seperti menanggapi rumor bahwa kuburan kucing tetangga sering didatangi arwah gentayangan anjing bulldog. Ketakutan akan menulis dan cerita horor amat mudah melekat pada fikiran. Alih-alih memulai, mereka mulai membangun argumentasi bahwasanya kehidupan tidak akan berhenti tanpa menulis.
Sejumlah penulis populer memang sepertinya dihujani rahmat luar biasa. Seperti menyebut nama Paulo Coelho dengan novel-novel fantastis yang terilhami petualangannya. Atau melirik pengakuan Dee (Dewi Lestari), dalam novel "Filosofi Kopi", tentang bagaimana ia (maaf sedikit hiperbolis) seperti 'kesurupan' menuliskan inti novel fenomenalnya, "Supernova", dalam satu malam. Namun, tetap saja ada proses panjang yang mereka lalui. Melawan rasa takut itu sendiri termasuk diantaranya.
Belajar menulis tidak mesti menuju jalan para novelis. Masih ada tujuan mulia lainnya sebagai inspirasi memulai diri untuk menulis. Saya senang pemikiran Gol A Gong dan Agus M. Irkham bahwa menulis merupakan hak yang ditahbiskan bagi setiap insan. Sebagaimana mereka sampaikan dalam buku "Gempa Literasi", bahwa tulisan bukan semata-mata teks. Ia adalah anak rohani. Saat membaca tulisan, kita sedang mendalami kedirian penulisnya. Paradigma berpikirnya. Kesadaran dan sikap laku hidupnya. Dan tiap diri itu diciptakan Tuhan secara unik, khas dan berbeda. Nah, pada titik itu, ungkapan bahwa tiap diri punya hak untuk menulis (buku) telah mendapati dasarnya.
Jika saya hendak menambahkan pendapat Gol A Gong dan Agus M. Irkham, setiap diri juga punya hak untuk 'salah' dalam 'belajar menulis'. Hasil yang salah adalah bagian inti dari proses menulis. Ia serupa dengan 10003 kali kesalahan Edison sebelum berhasil menemukan bola lampu. Mungkin, metamorfosa kupu-kupu dapat dijadikan perumpamaan lebih menarik tentang bagaimana proses merupakan ciri khas kehidupan alam. Hal serupa yang berlaku dalam kehidupan kita tatkala hendak menulis.
Dalam bukunya "A9ama Saya adalah Jurnalisme", Andreas Harsono menulis satu bab tentang inspirasi menulis yang berjudul 'Menulis Perlu Tahu dan Berani'. Ini tulisan mengetengahkan perihal paling mendasar sebelum menulis sebagaimana dicantum dalam judulnya. Andreas sendiri terilhami pernyataan Pramoedya Ananta Toer dalam novel "Khotbah dari Jalan Hidup" yang mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Bagi Andreas, ada dua syarat sederhana bila hendak "bekerja untuk keabadian": harus tahu dan harus berani.

Menulis telah kita pahami sebagai rahmat dan hak yang diwariskan pada manusia. Yang membedakan dengan mahluk hidup lainnya. Tidak hanya menunjukkan jati diri, namun juga tindak mulia dalam berbagi pengetahuan dan kabar. Ketakutan semestinya bukan kerikil tajam setiap kali hendak menulis. Jadi, jangan takut. Di dalam Alkitab sendiri dicatat terdapat 365 kali ayat-ayat dimana Tuhan mengatakan: "Jangan Takut" Nah!?

Keterangan foto: Workshop Jurnalis Dasar bagi Novis dan Postulan KSSY - 2016
Maaf, Saya (Tidak) Takut Menulis!! Maaf, Saya (Tidak) Takut Menulis!! Reviewed by pontifex.ID on 9:39 AM Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.